Bertawasul Dengan Yang Sudah Meninggal
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah Al Anshari berkata, telah menceritakan kepadaku bapakku 'Abdullah bin Al Mutsanna dari Tsumamah bin 'Abdullah bin Anas dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a, "Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan hujan." [1]
Dalam hadits di atas menjelaskan bahwa ucapan Umar, “Dan sekarang kami berdo’a kepada-Mu, lalu engkau menurunkan hujan kepada kami”, artinya, dan setelah Nabi kami wafat, kami mendatangi al-Abbas, paman Nabi , dan kami meminta kepadanya agar berdo’a kepada Allah untuk menurunkan hujan pada kami.
Lalu mengapa Umar meninggalkan tawasul kepada Nabi dan menggantinya dengan tawasul kepada Al-Abbas, padahal kita ketahui al-Abbas memiliki kedudukan yang mulia, ia tidak berarti apa-apa dibanding kedudukan Nabi dan kemuliaanya.
Hal ini menunjukan tawasul dengan nabi setelah wafatnya beliau adalah tidak benar.[2] Sesungguhnya tawasul kepada Nabi tidak mungkin lagi setelah beliau wafat. Bagaimana mungkin mereka pergi kepada Nabi dan menjelaskan keadaan mereka, serta meminta beliau berdo’a untuk mereka dan mereka mengaminkan do’a beliau, sedang beliau sudah pergi menghadap “kekasih tercintanya”, dan alam beliau sudah berbeda dengan alam dunia yang tidak diketahui hakikatnya kecuali Allah. Lalu bagaimana mungkin mereka meminta syafa’at dan do’a sedangkan antara mereka dan beliau ada pembatas sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (al-Mukminun : 100)
Oleh karena itu Umar, dimana beliau adalah seorang Arab asli yang menemani Nabi dan menyertainya pada sebagian besar kehidupan beliau, dan sangat mengenal beliau, dan sangat mengerti persoalan agama dan pendapatnya seringkali sesuai dengan wahyu, ia melakukan tawasul yang dibolehkan, maka ia memilih untuk bertawasul lewat perantaraan Al-Abbas.
Tidak pantas bagi umar dan bagi yang lainnya untuk meninggalkan tawasul lewat perantaraan Nabi dan menggantinya dengan tawasul lewat perantaraan al-Abbas atau yang lainnya, sekiranya tawasul kepada Nabi dimungkinkan dan dibolehkan. Dan tidak masuk akal para sahabat menyetujui perbuatan Umar, karena berpaling dari tawasul lewat perantaraan Nabi kepada tawasul lewat selainnya sama saja berpaling dari mengikuti salainnya dalam shalat. Hal ini karena para sahabat mengetahui betul derajat Nabi mereka, dimana pengetahuan mereka akan kedudukan dan keutamaan Nabi tidak tersamai oleh siapapun. [3]
Sekiranya tawasul Umar makananya adalah tawasul lewat perantaraan pribadi al-Abbas atau kedudukannya disisi Allah , niscaya Umar tidak akan pernah meninggalkan tawasul dengan diri Nabi . Beralihnya Umar kepada tawasul dengan perantaraan do’a al-Abbas merupakan dalil yang paling kuat yang menunjukan bahwa Umar dan shahabatnya yang lainnya tidak memandang bahwa tawasul dengan pribadi Nabi , sesuatu yang disyari’atkan, dan pendapat inilah yang dipegang oleh orang-orang salaf setelah mereka, sebagaimana tawasul Mua’wiyah bin Abu Sufyan dan adh-Dhahhak bin Qois kepada Yazid bin al-Aswad al-Jarasyi dimana disebutkan dengan sangat jelas bahwa keduanya bertawasul dengan do’anya.
Maka, apakah boleh disimpulkan bahwa mereka semuanya meninggalkan tawasul dengan pribadi Nabi jika sekiranya itu boleh, apalagi orang-orang yang berbeda pendapat dengan kami sepakat meyakini bahwa tawasul dengan pribadi Nabi lebih afdhal dari tawasul dengan pribadi al-Abbas dan yang lainnya? Sungguh itu tidak mungkin dan tidak masuk akal, bahkan kesepakatan mereka merupakan dalil yang paling kuat yang menyatakan bahwa tawasul tersebut bagi mereka pun tidak disyari’atkan, sebab bagaimana mungkin mereka menukar yang lebih baik dengan yang lebih rendah!
Yang benar adalah, bahwa kesepakatan para sahabat yang meninggalkan tawasul dengan pribadi Nabi ketika kesulitan menimpa mereka –di mana di masa Nabi hidup, mereka tidak bertawasul selain lewat perantaraan beliau- termasuk dalil yang paling kuat dan sangat jelas bahwa tawasul dengan pribadi Nabi tidak disyari’atkan. Sebab kalau memang disyari’atkan niscaya akan diriwayatkan dari mereka lewat banyak jalan dalam beragam peristiwa.[4]
[1] HR. Bukhari, dalam Kitab : Jum'at, Bab : Permintaan Orang-orang Kepada Imam Untuk Melaksanakan Shalat Istisqa' untuk Memohon, Turunnya Hujan Ketika Musim Kemarau, No. Hadist : 954
[2] Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa Rasail, Riyadh, Daarust Tsariya, Cet II, Thn 1414 H/1994 M. Juz: 5, hal: 288.
[3] Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Kupas Tuntas Tentang Tawasul, Jati Negara Jakarta Timur, Darus Sunnah Press, Cet II, 2011 M. hal : 81-82.
[4] Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Kupas Tuntas Tentang Tawasul, Jati Negara Jakarta Timur, Darus Sunnah Press, Cet II, 2011 M. hal : 88-89.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar