Senin, 29 Juni 2015

Pembagian Tawasul Menurut Jumhur Ulama

Jurnalmuslim.com - Bertawasul di dalam berdo’a kepada Allah  terbagi kepada dua klasifikasi[1] :

Pertama : Tawasul yang dibolehkan

Hal itu dilakukan dengan wasilah yang diajarkan oleh syari’at; ini ada beberapa jenis :

1.      Bertawasul melalui asma’ Allah, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya. Dalam hal ini, bertawasul kepada Allah Ta’ala dengan nama, sifat, atau perbuatan-Nya yang sepadan dengan apa yang dimintakan seseorang. Allah berfirman :

وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا



“Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.”  (al-A’raf : 180)



Seperti apabila berdo’a :

يَا رَحِيْمٌ اِرْحِمْنِيْ, يَا غَفُوْرٌ اِغْفِرْ لِيْ



“Wahai dzat yang maha pengasih, kasihinilah aku, wahai dzat yang maha pengampun, ampunilah aku.”



Dan semisal itu, seperti juga di dalam sebuah hadits dari Nabi bahwasannya beliau berdo’a :

اَللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِيْ مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِيْ



“Ya Allah, dengan ilmu-Mu terhadap yang ghoib dan qudrot-Mu di dalam mencipta, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku.”[2]

Beliau telah mengajarkan kepada umatnya agar di dalam shalatnya mengucapkan,

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمِ



“Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi muhammad dan keluarga besarnya sebagaimana engkau telah menyampaikan shalawat kepada nabi ibrohim dan keluarga besarnya.”[3]



2.      Bertawasul kepada Allah dengan beriman dan taat kepada-Nya (amal shaleh) sebagaimana firman-Nya mengenai ulil albab,



 رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ



“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (ali-Imran : 193)

Dan firman-Nya :

إِنَّهُ كَانَ فَرِيقٌ مِّنْ عِبَادِي يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ



“Sesungguhnya, ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdo'a (di dunia): "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik.” (al-Mukminun : 109)



Serta firman-Nya mengenai hawariyyun (para shahabat Nabi ‘Isa ) :

رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزَلَتْ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ



“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)".  (ali-Imran : 53)



3.      Bertawasul kepada Allah dengan menyebut kondisi orang yang bero’a yang menjelaskan kebutuhan dan hajatnya sebagaimana firman-Nya melalui ucapan Musa ,

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ



"Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". (al-Qashas : 24)



4.      Bertawasul kepada Allah melalui do’a orang yang diharapkan do’anya terkabul, sebagaimana permintaan para shahabat  kepada Nabi  agar beliau berdo’a kepada Allah untuk mereka seperti ucapan seorang laki-laki yang ketika Nabi sedang berkhutbah jum’at, dia masuk masjid sembari berkata, “Berdo’alah kepada Allah agar menurunkan hujan buat kami”. [4]

Dan ucapan ‘ukasyah bin muhshin kepada Nabi ,  “Berdo’alah kepada Allah agar menjadikanku termasuk dari mereka (tujuh puluh ribu orang yang meniti shiroth tanpa hisab).”[5]



Ini semua hanya bisa terjadi semasa hidup orang yang berdo’a, sedangkan setelah dia meninggal dunia, maka tidak boleh hukumnya karena dia dianggap tidak memiliki amal dan sudah berpindah ke alam akhirat. Oleh karena itu, ketika penduduk mengalami kekeringan pada masa kekhilafahan Umar bin khathab , mereka tidak meminta kepada Nabi  agar memintakan hujan turun buat mereka, tetapi umar meminta turun hujan melalui perantaraan al-abbas , paman nabi . Dia berkata kepadanya, “berdirilah lalu mintalah hujan turun!” Lalu al-abbas  berdiri dan berdo’a.



5.      Tawasul kepada Allah dengan mengakui dosa-dosa.[6]

Allah berfirman:

قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي



“Musa mendo'a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku". (al-Qashash : 16)



Kedua : Tawasul yang dilarang

Tawasul tersebut dilakukan melalui wasilah yang tidak diajarkan oleh agama; ini ada dua jenis :

1.      Wasilah yang digunakan telah dibatalkan oleh syari’at, seperti tawasul yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dengan tuhan-tuhan mereka, dan  tawasul orang-orang bodoh dengan wali-wali mereka. Ini adalah tawasul syirik, dan tidak benar kalau hal ini disebut tawasul tetapi hal ini adalah kesyirikan.[7] Kebatilan jenis ini tentunya amat tampak.

2.      Menggunakan wasilah yang didiamkan oleh syari’at; ini hukumnya haram dan termasuk jenis kesyirikan.

Diantaranya adalah:

Seperti bertawasul melalui jah (kehormatan) seseorang yang memang terhormat di sisi Allah, lalu dia berkata, “Aku meminta kepada-Mu melalui jah Nabi-Mu.”  Ini tidak dibolehkan karena merupakan penetapan terhadap suatu sebab yang tidak dianggap sah oleh syari’at dan karena jah orang yang memang terhormat tidak memiliki pengaruh apa-apa di dalam terkabulnya suatu do’a, sebab tidak terkait dengan orang yang berdo’a ataupun orang yang dido’akan, tetapi hanya merupakan urusan orang yang terhormat itu sendiri. Dia tidak dapat memberikan manfa’at bagi anda di dalam mencapai apa yang anda minta atau di dalam menolak apa yang anda tidak sukai. Dikatakan sebagai wasilah bagi sesuatu, bila mana ia dapat menyampaikan kepadanya sementara bertawasul (mengambil wasilah) dengan sesuatu kepada hal yang tidak dapat menyampaikannya merupakan bentuk kesia-siaan belaka.

[1] Khalid al-Juraisiy. Terjemah Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-‘Ashriyyah Min Fatawa Ulama’ Al-Balad Al-Haram, Jakarta, Darul Haq, Cet I, 2003 M. Jilid : I, hal : 76-80.

[2]  Sunan an-Nasa-i, kitab as-Sahwu, jilid III, hal 54-55.

[3] Terdapat lafadh-lafadh yang bervariasi mengenai shalawat kepada Nabi dari lebih seorang shahabat. Lihat : Shahih al-Bukhari, kitab tentang al-Anbiya’, no. 3369; Shahih Muslim, kitab ash-Shalah, no. 407 dari hadits Abu Humaid as-Sa’idy; Shahih al-Bukhari, no. 3370 dan Shahih Muslim, no. 406 dari hadits Ka’ab bin ‘Ajrah; Shahih al-Bukhari, kitab at-Tafsir, no. 4798 dari hadits Abu Sa’id  dan Shihih Muslim, no. 405 dari hadits Abu Mas’ud.

[4]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Istisqa’, no. 1013; Shahih Muslim, kitab Ahalah al-Istisqa’, no. 897.

[5] Shahih al-Bukhari, kitab ath-Thibb, no. 5752; Shahih Muslim, kitab al-Iman, no. 220 dari hadits Ibnu Abbas;  Shahih al-Bukhari, kitab al-Libas, no. 5811; Shahih Muslim, no. 216 dari hadits Abu Hurairah dan no. 218 dari hadits Imran.

[6] Dr. Shalih bin Fauzan Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid, Jakarta, Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia, Cet I, 1423 H/ 2002 M, Jilid 3, hal 86.

[7] Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa Rasail, Riyadh, Daarust Tsariya, Cet II, Thn 1414 H/1994 M. Juz: 5, hal:  288.

(nisyi/jurnalmuslim.com)
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Tafsir Ibnu Katsir 2011 - Some rights reserved | Powered by Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all